Sabtu, 21 April 2012

muhkam dan mutasyabih

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah agar Al-Qur’an menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta. Ia menggariskan bagi makhluk-Nya akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, di mana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Salah satu persoalan ‘Ulumul Qur’an yang masih sering kita dengar tentang perselisihannya ialah masalah ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Telaah dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata muhkam  dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam, terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
Kedua, lafal mutasyabih  terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
Ketiga, lafal muhkam  dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
Ulama-ulama salaf mereka tidak mau menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya mengimani dan mengamalkan apa yang Allah maksud di dalam Al-Quran. Sedangkan dikalangan ulama muta’akhirin mereka berani menafsirkan maupun menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu.
Dalam makalah ini juga akan membahas tentang pembagian ayat-ayat mutasyabih serta hikmah diturunkannya al-Quran dalam dua bentuk muhkam dan mutasyabih.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah  tersebut diatas, penyusun merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?
2.    Apa sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Quran?
3.    Bagaimana pembagian aya-ayat mutasyabih dalam al-Quran?
4.    Bagaimana sikap atau pendapat para ulama tentang ayat mutasyabihat?
5.    Apa hikmah diturunkannya ayat muhkam dan mutasyabihat?

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
1.    Mengetahui pengertian muhkam dan mutasyabih menurut para ahli.
2.    Sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Quran.
3.    Pembagian ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran.
4.    Sikap atau pendapat para ulama tentang ayat mutasyabihat.
5.    Hikmah diturunkannya ayat muhkam dan mutasyabihat.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
1. Secara Bahasa
a.    Muhkam menurut bahasa berasal dari kata حَكَمَ – يحكم – حكما yang berarti memutuskan dua perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebohongan dan kebenaran.
Muhkam juga berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian inilah Allah mensifati qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam. 
b.    Mutasyabih, secara bahasa berati tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah  ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.

2. Secara istilah
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkam dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a.    Ulama golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan ditakwilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contohnya: terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf Muqaththa’ah.
b.    Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang samar maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab, lafal mutasyabih termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c.    Mayoritas ulama golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang tidak bisa ditakwilkan kecuali satu arah atau segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat ditakwilkan dalam beberapah arah atau segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.
d.    Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan,  lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam-macam takwilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e.    Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda atau isyarat yang menjelaskannya.
f.      Imam Ath-Thibi mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkami) yang berarti baik atau bagus. Contohnya seperti yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan atau kesukaran.
g.    Imam Fakhruddin Ar-Razi berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuknya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang nash, atau yang jelas, dan sebagainya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang ditakwili, dan sebagainya.
h.    Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas, seperti umumnya lafal Al-Quran. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup diimani eksistensinya saja.
Dari beberapa definisi muhkam dan mutasyabihat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh.
Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT

B.    Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah karena Allah SWT menjadikannya demikian itu. Allah SWT memisahkan atau membedakan antara ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata muhkam  dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam, terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
           
Terjemahan: Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.

Kedua, lafal mutasyabih  terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
 •     •                              
Terjemahan: Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.

Ketiga, lafal muhkam  dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
              •                        •            
Terjemahan: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an. 
1.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Terjemahan: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.

Lafal أَبٌّ di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan: Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (Q.S. Abasa [80]: 32)
2.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna
Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib. 
Contoh:
...يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….   
Terjemahan: ...tangan Allah di atas tangan  mereka....( Q.S. al-Fath [48]: 10.)
3.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal
Dari segi makna dan lafad, mutasyabih ada 5 macam, yaitu:
a.    Dari segi kuantitas, seprti umum dan khusus. Contohnya :
… 
 “…maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu… “ ( At-Taubah [9] : 5 ).
b.    Dari segi tatacara, seperti wajib dan sunah. Contohnya :
...      ...
 “…Maka kawinilah wanita-wanita yang lain yang kamu senangi... “. (An-Nisa [4] :3)

c.    Dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh. Contohnya :
…  •  ...
 “…bertaqwalah kepada Allah sebebar-benar taqwa kepadanya … “. (Ali-Imran [3] : 102)

d.    Dari segi perkara-perkara yang diturunkan di dalamnya. Contohnya :
…       ...
 “…Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya… “. (Al-Baqarah [2] : 189 )

e.    Dari segi syarat-syarat sahnya suatu perbuatan dan yang merusaknya, seperti syarat sahnya shalat, syarat sahnya nikah.
C.    Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Al-Zarqani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam :
1.    Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Terjemahan : Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
2.    Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
 لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
3.    Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.

D.    Sikap Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab. :
1.    Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.

Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Terjemahan: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).

2.    Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. 
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak baik bagi-Nya.
Pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli. 
E.    Hikmah Adanya Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Diantara hikmah kebeadaan ayat-ayat muhkam didalam al-quran adalah:
1.    Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2.    Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3.    Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4.    Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Sedangkan hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran adalah:
1.    Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
2.    Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Pada penghujung surat Al-Imran ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru illa ulu Al- albab sebagi cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana latuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3.    Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
4.    Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
5.    Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.

BAB III
PENUTUP
Allah menurunkan Al-Quran kepada manusia adalah sebagai petunjuk dan pedoman agar manusia selamat didunia dan akherat. Didalam al-quran terdapat ayat-ayat yang mutasyabihat dan ayat-ayat yang muhkam. Muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil. Sedangkan mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam.
Sebab tasyabuh didalam al-Quran bias disebabkan oleh ketersembunyian pada makna, ketersembunyian pada lafad, dan ketersembunyian pada makna dan lafad.
Ada dua pendapat ulama dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabiat, yaitu menurut ulama salaf dan menurut ulama khalaf. Menurut ulama salaf, mereka tidak mau menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Seredangkan ulama kalaf, mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Diantara hikmah kebeadaan ayat-ayat muhkam didalam al-quran adalah:
1.    Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah
2.    Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya
3.    Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran
4.    Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya
Sedangkan hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran adalah:
1.    Memperlihatkan kelemahan akal manusia
2.    Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih
3.    Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia
4.    Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran
5.    Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).

As Sayuti, Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur’an, jilid 3. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007).

As-Suyuti, Al-Itqan fi ulumul Qur’an, juz 2 dar Al-fikr.

Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terjemah: Team Pustaka Firdaus. (Jakarta: Pustaka Firdaus 1995).

Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003).

Dahlan, Zaini, dkk., Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991).

Hasbi. Teungku M, Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: PT Pustaka Rizki Putra,2001).

Husein. Sayyid Muhammad, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Lentera, 2000).

Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,  (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992).

Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1997).

Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasan, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-qur’an, terj. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia,1999.

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000).

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992).

Wahid. Ramli Abdul, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993).